Dengan menahan rasa malu
aku mulai langkahkan kaki meninggalkan rumah Jeng Heni, aku nggak menyangka
jika usahaku tuk mendapatkan pinjaman uang dari jeng Heni hanya berujung rasa
malu. Masih terngiang betul ditelingaku bagaimana ia berkata-kata dan menolak meminjamkan
uang dengan cara yang halus.
“Mohon Maaf Mama
Farhan, sebaiknya Mama bawa kembali saja hiasan dinding mas kawin ini. Inikan
kenang kenangan suami. Rasanya gimana jika sampai Mama gadaikan warisan almarhum yang sangat
bernilai ini. Atau Mama tawarkan ke Tante Rinda coba, dia kan suka mengkoleksi
hiasan dinding dari uang-uang kuno gini.”
Aku sangat Faham jika Jeng Heni meragukan kemampuan aku
membayar hutang-hutangku selama ini. Aku sadar bahwa semua ini terjadi karena
kesalahanku, coba aku dulu nggak minta mahar yang aneh-aneh gini, pasti
keadaannya akan lain. Sebenarnya Mahar suamiku dulu tergolong cukup besar. Tapi
demi sebuah sensasi uang mahar yang diberikan suami ketika itu, justru aku
konversikan menjadi beberapa uang kuno dan lembaran uang yang aku bingkai menjadi
hiasan dinding uang sejumlah tanggal, bulan dan tahun moment pernikahanku. Sebagian
lagi aku belikan seperangkat alat sholat dan mukena kain sutera. Dan kini semua
uang-uang ini sudah tidak berlaku lagi. Kain mukena sutranyapun sudah sangat
kusust dan using. Seandainya saja Aku mau mengikuti saran Pak. Penghulu ketika
itu, dimana dia menyarankan agar maharnya calon suami ketika itu adalah berupa
emas Logam Mulia saja, pasti akan dengan mudah aku mendapatkan pinjaman dengan
jaminan maharku. Sebenarnya Mas Azam lebih sependapat dengan logika penjelasan
Pak Penghulu, tapi karena akunya yang kekeh, maka Mas Azampun mengikuti apa
mauku.
“Gimana
Ma, besok dedek jadi sekolah di SDIT ?”
Sesampainya dirumah, aku langsung disambut anak-anakku,
Farhan bertanya tentang kepastiannya
bisa sekolahnya besok pagi. Ucapan itu benar-benar menggelegar ditelingaku, aku
tak tahu lagi meski kemana mencari pinjaman untuk biaya masuk SD Farhan. Uang 5 juta bukanlah uang yang sedikit. Sedangkan
besok adalah hari terakhir pendaftaran ulang masuk sekolah SDIT Al-Iman. Air mataku tak terasa mulai berlinang
membasahi pipi ini, aku teringat Almarhum suamiku. Seandainya ia masih ada,
pasti ia bisa memenuhi kebutuhan sekolah Farhan dan Alif. Kakaknya juga sudah
tiga bulan belum bayar SPP sekolah.
“InsyaAllah jadi ya
nak ya, Farhan jangan khawatir, sekarang farhan bobok gih. takutnya besok malah
kesiangan berangkat kesekolahnya. Masak hari pertama sudah terlambat. Mas Alif
ajak adikmu bobok ya.”
“Asyik
besok Farhan jadi sekolah, Farhan bobok dulu ya Ma..”
Farhan berlari menuju kamarnya, sedangkan Alif mengikuti
adiknya dengan langkah gontai. Aku hanya
mampu memandangi mereka dengan hati yang masih bimbang dan bingung. “Maafkan aku Mas Azam, aku tak becus
mengurus anak-anak kita. Semua barang barang peninggalanmu sudah habis aku jual
untuk memenuhi biaya sekolah mereka. Dan kini hanya tersisa Mas Kawin mu ini.
Aku sebenarnya telah merelakannya jika terpaksa harus terjual. Namun sayang tak
ada satupun sahabatku yang mau membelinya. Bahkan meminjaminnya saja mereka
enggan meskipun aku sudah rela jika barang yang paling berharga dalam sejarah
hidup kita ini, menjadi jaminannya”
Aku terus terbayang wajah suamiku, Ya Robb, aku rindukan
dirinya. Kenapa Engkau ambil suamiku begitu cepat. Ya Allah lapangkan qubur Mas
Azam, Jadikan quburnya taman-taman surga-Mu. Bahagiakan dia dialam sana dengan
Rahmat-Mu. Aamiin.
APA PERTANYAAN MU ??
note :
- Silahkan bertanya dengan diawali kalimat "Tanya Penghulu"