Sebelum seorang wanita menikah, ada baiknya ia memahami terlebih dahulu tertib wali nikah ini. Tertib urutan (wali) nikah pada dasarnya sama dengan tertib urutan
dalam warisan. Ulama berbeda pendapat dalam masalah wali bagi wanita dalam
pernikahannya. Adapun jumhur ulama, di antara mereka adalah Al-Imam Malik,
Asy-Syafi’i, Ahmad, dan selainnya berpandangan bahwa wali nasab seorang wanita
dalam pernikahannya adalah dari kalangan ‘ashabah, yaitu kerabat dari kalangan
laki-laki yang hubungan kekerabatannya dengan si wanita terjalin dengan
perantara laki-laki (bukan dari pihak keluarga perempuan atau keluarga ibu tapi
dari pihak keluarga ayah/laki-laki), seperti ayah, kakek dari pihak ayah,
saudara laki-laki, paman dari pihak ayah, anak laki-laki paman dari pihak ayah,
dan seterusnya.
Dengan demikian ayahnya ibu (kakek), saudara perempuan ibu
(paman/khal), saudara laki-laki seibu, dan semisalnya, bukanlah wali dalam
pernikahan, karena mereka bukan ‘ashabah tapi dari kalangan dzawil arham.
(Fathul Bari, 9/235, Al-Mughni, kitab An-Nikah, fashl La Wilayata lighairil
‘Ashabat minal Aqarib) Di antara sekian wali, maka yang paling berhak untuk
menjadi wali si wanita adalah ayahnya, kemudian kakeknya (bapak dari ayahnya)
dan seterusnya ke atas (bapaknya kakek, kakeknya kakek, dst.) Setelah itu, anak
laki-laki si wanita, cucu laki-laki dari anak laki-lakinya, dan terus ke bawah.
Kemudian saudara laki-lakinya yang sekandung atau saudara laki-laki seayah
saja. Setelahnya, anak-anak laki-laki mereka (keponakan dari saudara laki-laki)
terus ke bawah. Setelah itu barulah paman-paman dari pihak ayah, kemudian anak
laki-laki paman dan terus ke bawah. Kemudian paman-paman ayah dari pihak kakek
(bapaknya ayah). Setelahnya adalah maula (orang yang memerdekakannya dari
perbudakan), kemudian yang paling dekat ‘ashabah-nya dengan si maula. Setelah
itu barulah sulthan/penguasa. (Al-Mughni kitab An-Nikah, masalah Wa Ahaqqun Nas
bin Binikahil Hurrah Abuha…, dan seterusnya).
Menurut Madzhab Syafi'iyah Tertib Urutan wali adalah sebagai
berikut:
1.
Ayah, kakek, ke atas;
2.
Saudara sekandung, saudara seayah, anak saudara
sekandung, anak saudara seayah
3.
Paman;
4.
Keturunan
lainnya (seperti hukum waris);
5.
Orang yang memerdekakan, keturunannya; dan
6.
Sulthan.
Menurut Peraturan Perundang-undangan
Kompilasi Hukum Islam pada pasal 21 ayat (1) membagi urutan
kedudukan wali nikah dengan empat kelompok. Kelompok yang satu didahulukan dari
kelompok yang lainnya, yaitu:
1. Kelompok
kerabat laki-laki garis lurus ke atas, yakni ayah, kakek dari pihak ayah, dan
seterusnya;
2. Kelompok
kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah, dan keturunan
laki-laki mereka;
3. Kelompok
kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah, dan
keturunan laki-laki mereka;
4. Kelompok
saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah kakek, dan keturunan
laki-laki mereka.
Adapun menurut Pedoman Fiqh Munakahat, urutan wali adalah:
1. Ayah;
2. Kakek
(ayahnya ayah);
3. Saudara
laki-laki kandung;
4. Saudara
laki-laki seayah;
5. Anak
laki-laki dari saudara laki-laki kandung;
6. Saudara
laki-laki dari saudara laki-laki seayah;
7. Saudara
ayah (paman) kandung;
8. Saudara
ayah (paman) seayah;
9. Anak
laki-laki paman kandung;
10. Anak
laki-laki paman seayah;
11. Wali
hakim
Jenis dan Sebab Intiqal Wali Nikah:
A. Dari Wali Aqrab ke Wali Ab'ad
Menurut jumhur ulama, jika wali ab'ad menikahkan wanita padahal
masih ada wali aqrab (yang urutannya lebih dekat), maka akad nikahnya tidak
sah. Perpindahan dari wali aqrab ke wali ab'ad hanya dapat terjadi karena
keadaan wali aqrab seperti di bawah ini:
Pertama; Sebab Ia adalah hamba sahaya; Kedua; Sebab ia Gila,
ketiga; Sebab ia bodoh sekali (kurang akal); Keempat ; Sebab ia kafir; dan
Kelima; Sebab ia sedang ihram (mengerjakan haji).
Pasal 22
Kompilasi Hukum Islam menyebutkan dua sebab bergesernya wali nikah dari aqrab
ke ab'ad, yaitu:
1. Jika
tidak memenuhi syarat-syarat sebagai wali nikah; dan
2. Jika
wali nikah menderita tuna wicara, tuna rungu, atau sudah udzur.
Menurut
pendapat Hanafiyah, jika wanita dinikahkan oleh wali ab'adnya, padahal ada wali
aqrab, maka sahnya akad nikah tergantung ada atau tidaknya izin dari wali
aqrabnya itu. Jika wali aqrabnya mengizinkan, maka akad nikah sah, jika ia
tidak mengizinkan, maka akad nikah batal. Tetapi, jika wali aqrabnya tersebut
masih kecil atau gila, maka perwalian berpindah kepada wali ab'adnya.
Menurut
Malikiyah, jika wali ab'ad menikahkan wanita, padahal wali aqrabnya masih ada,
maka akad pernikahannya tetap sah, asal wanita tersebut berkenan, setuju.
B. Dari Wali Nasab ke Wali Hakim
Dan bila seorang wanita tidak memiliki wali nasab atau walinya
enggan menikahkannya, maka hakim/penguasa memiliki hak perwalian atasnya4
dengan dalil sabda Rasulullah:
فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لاَ وَلِيَّ لَهُ
“Maka sulthan (penguasa) adalah wali bagi wanita yang tidak
memiliki wali.” (HR. Abu Dawud no. 2083, dishahihkan Al-Imam Al-Albani t dalam
Shahih Abi Dawud)
Pada asalnya, wali hakim berfungsi sebagai penyeimbang. Wali hakim
digunakan ketika tidak ada lagi wali nasab. Dalam hadits Nabi saw., perpindahan
dari wali nasab ke wali hakim didasarkan pada adanya perselisihan antara para
wali, seperti dipahami dari hadits dari Aisyah di bawah ini:
أيما
امرأة نكحت يغير إذن وليها فنكاحها باطل باطل باطل فإن دخل بها فلها المهر بما
استحل من فرجها فإن استجروا فالسلطان ولي لمن لا ولي لها (أخرجه الأربعة إلا
النسائى وصححه أبو عوانة وابن حبان والحاكم)
"Wanita apapun yang menikah tanpa idzin walinya, maka nikahnya
batal, batal, batal. Jika suami telah menggaulinya, maka wanita tersebut berhak
atas maskawin sebagai penghalal kemaluannya. Jika para wali tersebut
berselisih, maka shulthan menjadi wali bagi wanita yang tidak memiliki wali
(karena berselisih)." (Diriwayatkan oleh Imam Empat kecuali Al-Nasa'iy.
Abu Awanah, Ibnu Hibban, dan Al-Hakim menilai hadits ini shahih)
Pasal 2 ayat (1) PMA Nomor 2 Tahun 1987 tentang Wali Hakim
menyebutkan sebab-sebab perpindahan dari wali nasab ke wali hakim, antara lain:
1.
Tidak mempunyai wali nasab yang berhak
2.
Wali nasabnya tidak memenuhi syarat;
3.
Wali nasabnya mafqud;
4.
Wali
nasabnya berhalangan hadir;
5.
Wali nasabnya adhal.
Kompilasi Hukum Islam pasal 23 ayat (1) juga
menyebutkan sebab-sebab yang senada dengan PMA Nomor 2 tahun 1987 di atas,
hanya berbeda sedikit redaksinya, yaitu, "Wali hakim baru dapat bertindak
sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin
menghadirkannya atau tiak diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adhal atau
enggan."
Sebab-sebab yang lebih rinci lagi dikemukakan Pedoman Fiqh
Munakahat dari Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji, yaitu:
1.
Karena tidak mempunyai wali nasab sama sekali,
atau
2.
Walinya mafqud, artinya tidak tentu
keberadaannya, atau
3.
Wali sendiri yang akan menjadi mempelai pria,
sedang wali yang sederajat dengan dia tidak ada, atau
4.
Wali berada di tempat jaraknya sejauh masafatul
qasri (sejauh perjalanan yang membolehkan sholat qasar) yaitu 92,5 km, atau
5.
Wali berada dalam penjara atau tahanan yang
tidak boleh dijumpai, atau
6.
Wali adhal, artinya wali tidak bersedia atau
menolak untuk menikahkan, atau
7.
Wali
sedang melakukan ibadah haji/umrah.
Maka yangberhak menjadi wali dalam pernikahan tersebut adalah wali
hakim. Kecuali apabila wali nasabnya telah mewakilkan kepada orang lain untuk
bertindak sebagai wali.
Ada satu sebab lagi yang menyebabkan intiqal dari nasab ke hakim.
Sebab tersebut adalah anak hasil di luar nikah (anak tidak sah). Menurut pasal
43 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 menetapkan bahwa anak yang dilahirkan di luar
pernikahan hanya mempnyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.
KHI pasal 100 lebih menegaskan lagi bahwa anak tersebut tidak memiliki hubungan
nasab dengan ayah biologisnya, hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan
keluarga ibunya. Karena tidak memiliki hubungan nasab dengan ayah biologisnya,
maka wanita tersebut tidak memiliki seorang wali nasab pun, karena barisan wali
nasab adalah dari garis ayah. Oleh sebab itu, maka perwaliannya berpindah
kepada wali hakim.
C. Dari Wali Hakim ke Wali Muhakkam
Apabila suatu pernikahan yang seharusnya dilaksanakan dengan wali
hakim, padahal di tempat itu tidak ada wali hakim, maka pernikahan
dilangsungkan dengan wali muhakam. Caranya ialah kedua calon
suami-isteri mengangkat seorang yang mempunyai pengertian tentang hukum-hukum
untuk menjadi wali dalam pernikahan mereka.
D. Intiqal karena Wali Nikah Tidak Memenuhi Syarat
Sub bahasan ini sengaja dimajukan karena mengandung masalah yang
menarik. Masalahnya ada dua: (1) intiqal karena wali nikah tidak memenuhi
syarat menjadi sebab intiqal dari wali aqrab ke wali ab'ad, juga menjadi sebab
intiqal dari wali nasab ke wali hakim; (2) bagaimana teknis menentukan adil
atau tidaknya seorang wali
Jika seorang wali tidak beragama Islam, yang lebih tepat apakah
intiqal ke wali ab'ad ataukah ke wali hakim?
Secara konsep dasar perwalian nikah sama dengan warisan. Karena
dalam warisan, jika ahli waris tidak beragama Islam, maka bagian waisannya
berpindah kepada ahli waris lainnya. Jika konsep dasar tersebut dipertahankan,
tentunya perwalian karena wali tidak beragama Islam, juga berpindah kepada wali
ab'ad, bukan kepada hakim.
Mengenai menilai adil atau tidaknya wali nikah, secara teknis sulit
untuk dilakukan, karena lazimnya penhulu hanya bertemu dengan wali nikah sekali
atau dua kali: ketika menerima pemberitahuan kehendak nikah dan ketika akad
nikah. Sementara, untuk menyimpulkan kualitas adil dalam pengertian berpegang
teguh kepada agama dengan melaksanakan kewajibannya dan meninggalkan dosa-dosa
besar dan tidak menganggap remeh dosa kecil, memerlukan penelitian mendalam,
dengan melihat hidup keseharian wali nikah.
Bagaimana jika diketahui bahwa wali memang sering tidak melakukan
sebagian (saja) kewajiban agama, seperti hanya melakukan Shalat Jumat saja;
atau wali yang selalu melaksanakan shalat, tetapi nyandu minuman keras
dan berzina. Apakah hak perwaliannya berpindah ke wali ab'ad?
E. Opsi Antara Intiqal atau Tawkil
Masalah berikutnya adalah, jika intiqal bukan diakibatkan oleh
karena hilangnya hak perwalian, seperti karena wali jauh atau dipenjara,
langkah yang paling baik apakah langsung dilakukan intiqal atau diusahakan
dengan membuat tawkil wali?
F. Penutup
Demikianlah sedikit informasi mengenai intiqal wali nikah
DAFTAR PUSTAKA
Dirjen
Bimas Islam dan Urusan Haji, Pedoman Fiqh Munakahat, Jakarta: 2000
H.
Idrus Ahmad, Fiqh al-Syafi'iyah: Fiqh Menurut Mazhab Syafi'i, Widjaya,Jakarta:
1969
Kompilasi
Hukum Islam dalam Lampiran Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi
Hukum Islam
Muhammad
Ibn Isma'il al-Kahlany, Subul al-Salam Syarh Bulug al-Maram min Jam'i Adillah
al-Ahkam, Thoha Putera, Semarang: t.th
Peraturan
Menteri Agama No. 2 Tahun 1987 tentang Wali Hakim
Taqy
al-Din Abu Bakr Ibn Muhammad al-Husainy, Kifayah al-Ahyar fi Halli Ghayat
al-Ikhtishar, Juz II, Semarang: t.th
UU
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Pekawinan
Wahbah
Al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuh, Juz IV. Dar al-Fikr, Beirut: 1989
Wahbah
Al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuh, Juz VII: al-Ahwal al-Syahshiyyah, Dar
Al-Fikr, Beirut: 1989
#UrutanWaliNikah
#WaliNikah
Wali
Nikah
APA PERTANYAAN MU ??
note :
- Silahkan bertanya dengan diawali kalimat "Tanya Penghulu"