Tanya Penghulu:
Apakah ijab qabul ketika akad nikah harus dalam satu nafas?
Jawab:
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,
Pernikahan adalah momen sakral dan bersejarah dalam kehidupan
sesorang. Salah satu yang menandai kesakralannya adalah saat prosesi ijab yang
diucapkan wali nikah dan qabul yang diucapkan Pengantin Pria
Momok yang sering terdengar dimasyarakat adalah bahwa salah
satu syarat sah akad nikah yang sering kita dengar, jawaban sang suami ketika
melakukan ijab qabul harus diucapkan sekali nafas. Jika tidak satu nafas maka akad
nikahnya harus diulang karena tidak sah. Hemm, kalau nafas bawaan lahir pengantin
prianya memang pendek gimana? Apa mungkin yang bersangkutan harus latihan
pernafasan dulu? :D Benarkah syariat terlalu memberatkan begitu?
Untuk itu ada hal yang perlu
diluruskan, bagaimana sejatinya penjelasan ulama tentang syarat dalam melakukan
ijab qabul. Seperti apa sebenarnya
hukum fiqih munakahat mengatur hal ini? Benarkah sesuai dengan yang dianjurkan,
atau hanya budaya di daerah tertentu saja? Maka TanyaPenghulu.com akan mencoba
menjelaskannya kepada Anda:
1.
YANG DISYARATKAN HARUS SATU MAJELIS DAN BUKAN HARUS SATU NAFAS
Ulama sepakat bahwa ijab qabul harus
dilakukan dalam satu majlis. Dalam arti, antara ijab dan qabul dilakukan dalam
konteks keadaan yang sama. Maka jika misalnya, di sebuah rumah, ada sang
wali mengatakan kepada calon menantunya: ’Saya nikahkan dan saya kawinkan kamu
dengan putriku ...’ kemudian mereka berpisah. Lnatas beberapa saat kemudian
mereka berdua ketemu di masjid, kemudian calon suami baru menjawab: ’Saya
terima nikahnya dan kawinnya putri bapak...’. maka Akad nikah semacam ini tidak
sah.
Dalam kitab Fikih 4 madzhab
dinyatakan,
اتفقوا
جميعا على ضرورة اتحاد مجلس العقد فلو قال الولي : زوجتك ابنتي وانفض المجلس قبل
أن يقول الزوج : قبلت ثم قال في مجلس آخر أو في مكان آخر لم يصح
”Para
ulama 4 madzhab sepakat ijab qabul harus dilakukan dalam satu majlis akad.
Sehingga andaikan wali mengatakan, ’Saya nikahkan kamu dengan putriku’ lalu
mereka berpisah sebelum suami mengatakan, ’Aku terima’. Kemudian di majlis yang
lain atau di tempat lain, dia baru menyatakan menerima, ijab qabul ini tidak
sah.” (al-Fiqh ala al-Madzahib al-Arba’ah, 4/16).
2. YANG DISYARATKAN ADALAH SEGERA DAN BUKAN
HARUS SATU NAFAS
Ulama
Hambali dan Hanafi tidak mempersyaratkan harus segera, selama ijab qabul masih
dianggap terjadi dalam satu majlis. Sehingga ketika ada salah satu yang tidak
konsentrasi ijab qabul dan melakukan aktivitas lain yang mengubah konteks
pembicaraan, akad nikah tidak sah.
فاتفق الحنابلة والحنفية على أن الفور ليس بشرط مادام
المجلس قائما عرفا أما إذا تشاغلا بما يقطع المجلس عرفا فإنه لا يصح
”Hambali
dan Hanafi berpendapat bahwa ’segera’ bukan syarat, selama masih dalam satu
majlis. Namun jika salah satu sibuk melakukan aktivitas lain, yang memutus
konteks pembicaraan, maka akad nikah tidak sah.” (al-Fiqh ala al-Madzahib
al-Arba’ah, 4/16).
Imam Ibnu Qudamah – ulama
hambali - mengatakan,
إذا تراخى القبول عن الإيجاب، صح، ما داما في
المجلس، ولم يتشاغلا عنه بغيره؛ لأن حكم المجلس حكم حالة العقد
“Apabila
kalimat qabul tidak langsung disampaikan setelah ijab, akad tetap sah. Selama
masih dalam satu majlis, dan mereka tidak menyibukkan diri sehingga tidak lagi
membicarakan akad. Karena hukum satu majlis adalah hukum yang sesuai
konteks akad.” (al-Mughni, 7/81).
Kemudian
Ibnu Qudamah menyebutkan riwayat dari Imam Ahmad,
وقد
نقل أبو طالب، عن أحمد، في رجل مشى إليه قوم فقالوا له: زوج فلانا. قال: قد زوجته
على ألف. فرجعوا إلى الزوج فأخبروه، فقال: قد قبلت. هل يكون هذا نكاحا؟ قال: نعم.
Abu
Thalib menukil dari Imam Ahmad, bahwa beliau ditanya, Ada seseorang (si A) yang
didatangi sekelompok rekannya. Gerombolan ini mengatakan, ‘Nikahkan si B
(dengan putrimu).’ Kemudian si A mengatajan, ‘Aku nikahkan si B dengan putriku,
dengan mahar 1.000 dirham.’ Kemudian gerombolan inipun segera menyampaikan
kepada si B bahwa si A telah menikahkannya dengan putrinya. Lalu si B menjawab,
’Saya terima nikahnya.’
”Apakah akad nikah semacam ini sah?” jawab Imam Ahmad, ”Ya,
sah.” (al-Mughni, 7/81).
Sementara
ulama Syafiiyah dan Malikiyah
berpendapat, harus segera (’ala al-Faur) dan tidak boleh ada pemisah, selain
jeda ringan yang tidak sampai dianggap pemisah antara ijab dan qabul.
واشترط الشافعية والمالكية الفور واغتفروا الفاصل اليسير الذي لا يقطع
الفور عرفا
”Syafiiyah
dan Malikiyah mempersyaratkan harus segera. Namun tidak masalah jika ada
pemisah ringan, yang tidak sampai dianggap telah memutus sikap ’segera’ dalam
menyampaikan qabul.” (al-Fiqh ala al-Madzahib al-Arba’ah, 4/16).
3. IJAB QABUL DISYARATKAN ITTISHOL (BERSAMBUNG)
Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal
27 menyebutkan, “Ijab dan Kabul antara wali dan calon mempelai pria hanya
disyaratkan harus jelas,
beruntun dan tidak berselang waktu”.
Sedangkan
sebagian ulama syafiiyah melarang, ketika antara ijab dan qabul diselingi
dengan ucapan apapun yang tidak ada hubungannya dengan akad nikah.
ان فصل بين الايجاب والقبول بخطبة بأن قال الولي:
زوجتك، وقال الزوج: بسم الله والحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله، قبلت
نكاحها، ففيه وجهان: (أحدهما) وهو قول الشيخ أبي حامد الاسفراييني، أنه يصح، لان
الخطبة مأمور بها للعقد، فلم تمنع صحته: كالتيمم بين صلاتي الجمع. (والثاني) لا
يصح، لانه فصل بين الايجاب والقبول. فلم يصح.
”Jika
antara ijab dan qabul dipisahkan dengan membaca hamdalah dan shalawat,
misalnya, seorang wali mengatakan, ’Saya nikahkan kamu.’ Kemudian suami
mengucapkan, ‘Bismillah wal hamdu lillah, was shalatu was salamu ‘ala
rasulillah, Saya terima nikahnya.’ Dalam kasus ini ada dua pendapat
ulama, (pertama) Nikah sah. Dan ini pendapat Syaikh Abu Hamid al-Isfirayini.
Karena bacaan hamdalah dan shalawat disyariatkan ketika akad, sehingga tidak
menghalangi keabsahannya. Sebagaimana orang yang melakukan tayamum di sela-sela
antara dua shalat yang dijamak. (kedua) tidak sah. Karena dia memisahkan antara
ijab dan qabul, sehingga akad nikah tidak sah.” (Fikih Sunah, Sayid Sabiq,
2/35).
4. KESIMPULAN
Memahami
keterangan di atas, sejatinya tidak ada keterangan ijab qabul harus satu nafas.
Yang ada adalah harus satu majlis dan harus bersambung. Selain itu menurut
pendapat Syafiiyah dan Malikiyah dibolehkan juga ada pemisah ringan, selama
tidak sampai keluar dari sikap ’segera’.
Karena
itu, jika dalam kasus akad nikah ada gangguan sound sistem, kemudian ketika
sang suami hendak mengucapkan qabul, tiba-tiba dia harus memperbaiki
mikrofonnya, beberapa saat kemudian dia mengucapkan qabul, maka akad nikah
tetap bisa dinilai sah.
***
‘Ala kulli hal, kami sepakat, bahwa akad nikah adalah akad yang sakral dan
oleh karenanya harus khidmat dalam menjalaninya. Tapi kesakralan tersebut tidak
perlu dijalani dengan wajah-wajah tegang. Terlebih lagi, pangkal ketegangan
tersebut BUKAN berasal dari aturan-aturan yang termaktub dalam fiqh munakahat,
melainkan dari pemahaman sebagian orang atas aturan-aturan tersebut yang –sayangnya-
diterima masyarakat begitu saja secara tidak kritis dan akhirnya menjadi mitos
yang membelenggu setiap orang yang akan melangsungkan akad nikah. Wallahu
a’lam bis showab.
APA PERTANYAAN MU ??
note :
- Silahkan bertanya dengan diawali kalimat "Tanya Penghulu"