“Dan
berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin
dan orang yang dalam perjalanan; dan janganlah kamu menghambur-hamburkan
(hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara
syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya. (Q.S.
Al-Israa’ : 26-27)”
Belum lagi persoalan yang hukum kadar sebuah mahar
menjadi sebuah “kebohongan” karena hakikanya uang 15 perak yang disebutkan pada
saat ijab qobul sudah merupakan kertas atau besi logam biasa. Uang logam 15
perak hanya memiliki angka nominal akan tetapi sudah tidak bernilai sebagai
transaksi atau tidak berlaku sebagai alat pembayaran. Lantas bagaimana mungkin uang
itu digunakan untuk membayar mahar? Sudah begitu dikatakan “tunai” saat ijab
qobul, sungguh hal ini menjadikan merusak akad mahar yang disebutkan dalam
akad.
Fenomena ini mengemuka dan menjadi trend, terbukti tercatat
di bulan Januari 2013, dari 139 pasang pengantin yang menikah di KUA Makasar
Jakarta timur, 28 pasang pengantin menggunakan uang yang telah dibentuk menjadi
hiasan mahar pernikahan mereka. Trend hiasan uang sebagai mahar ini cenderung
terus mengalami kenaikan setiap tahunnya.
Padahal kedudukan mahar dalam pernikahan itu, bukan saja
untuk sekedar terpenuhinya syarat sahnya pernikahan, akan tetapi lebih dari hal
itu, adalah pada pemaknaan tujuan disyari’atkannya mahar. Apakah mungkin Allah
mensyari’atkan mahar hanya sebagai pengingat moment kejadian pernikahan ataupun
agar menjadi sensasi belaka? Mari kita kaji dan fahami secara arif.
Dasar Hukum Mahar;
وَآَتُوْا النِّسَاءَ صَدَقَاتُهُنَّ
نِحْلَةً, فَإِنَّ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوْهُ هَنِيْئًا
مَّرِيْئًا
Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai
pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu
sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah)
pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya. (Q.S. An-Nisaa: 4)
Tafsir Ibnu Katsir. Q.S. An-Nisa ayat
: 4 ini sebagai berikut; “Jangan kau nikahi dia
kecuali dengan sesuatu yang wajib baginya” Kemudian jika mereka menyerahkan
kepadamu sebagian dari mas kawin itu dengan senang hati, maka makanlah, (ambillah) pemberian wajib itu
(sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.
Ini artinya apabila si
perempuan memberikan sebagian mahar yang sudah menjadi miliknya, tanpa paksaan,
maka sang suami boleh menerimanya. Mahar wajib diterimakan kepada isterinya dan
menjadi hak isteri, bukan untuk orang tua atau saudaranya.
Dalam
Al-qur’an mas kawin juga disebut dengan istilah shadaq, nihlah, fariidhah dan
ajr. Sedangkan didalam hadits mas kawin itu dinamakan; mahr, aliqah dan ‘uqar.
Kata saduqât pada
ayat diatas adalah jama’ dari kata shidaq (shadaq), shuduqah, dan shaduqah yang berarti
“mahar atau mas kawin”. Asal saduqoh; (
s-d-q) yang artinya “kekuatan pada sesuatu” Mas kawin dinamai sadaq karena hal
tersebut mengisyaratkan adanya
keseriusan dan kebenaran keinginan dari seseorang yang meminang. Mahar adalah
nama pemberian yang wajib diberikan oleh calon suami kepada isterinya jika akan
melangsungkan pernikahan.
Kata nihlah dalam
ayat diatas sama dengan kata nahl yang berarti lebah (madu). Nihlah disebut
juga pemberian. Ini artinya mas kawin itu sebagai akad
untuk mendapatkan ganti dan gantinya adalah manfaat kemaluan perempuan serta
manfaat-manfaat lain dari diri perempuan.
Sedangkan kata mahar sendiri berasal dari bahasa Arab
yaitu al-Mahru yang bentuk jamaknya muhur atau muhurah,
yaitu harta yang diberikan kepada perempuan baik langsung pada waktu itu maupun
pada waktu yang lain, dan dapat dimanfaatkan menurut kriteria dan pandangan
syara'. Dalam terminology fiqih, mahar didefinisikan sebagai kewajiban
calon suami memberikan sesuatu kepada istrinya baik disebabkan perkawinan atau
persetubuhan. Definisi ini umumnya digunakan oleh ulama al-Syafi'iyah.
Berdasarkan
definisi di atas, dapat dipahami bahwa
mahar adalah suatu kewajiban yang dibebankan
kepada pihak calon suami. Mahar merupakan jalan yang menjadikan isteri senang
dan ridha menerima kekuasaan suaminya kepada dirinya.
Mahar harus ditunaikan dengan rela dan ikhlas karena melaksanakan perintah Allah SWT. Mahar bukanlah simbol cinta seperti roti buaya, sehingga jika motif mahar hanya untuk sensasi maka hal tersebut akan menghilangkan keberkahannya. Maka saran saya, luruskan niat kamu dalam memberikan mahar atau mas kawin. Jangan ikut-ikutan trend yang cenderung sensasional. Itu saja!
Wallahua'lam bishowab.
Artikel Terkait;
APA PERTANYAAN MU ??
note :
- Silahkan bertanya dengan diawali kalimat "Tanya Penghulu"