Pernikahan merupakan ikatan sakral yang melibatkan dua individu dalam sebuah komitmen hidup bersama. Namun, bagaimana jika salah satu pihak yang ingin menikah memiliki kondisi kejiwaan yang tidak stabil atau dianggap gila? Pertanyaan ini memunculkan berbagai dilema moral, sosial, dan tentunya aspek hukum yang harus dipertimbangkan. Dalam artikel ini, kita akan mengupas lebih dalam mengenai pandangan hukum terhadap pernikahan dengan seseorang yang mengalami gangguan jiwa, serta bagaimana implikasinya terhadap keabsahan pernikahan menurut hukum yang berlaku.
Hukum Nikah Wanita Gila
Kegilaan bukanlah sifat yang mencegah seorang wanita menjadi istri, dan bukan hal yang mencegah sahnya kawin dengan wanita yang gila. Hanya saja, yang berhak untuk menjadi wali nikahnya hanya tiga orang, yaitu ayah, kakek, dan wali hakim. Dan jika yang menjadi wali nikahnya adalah ayah dan kakeknya maka disyaratkan harus ada kemaslahatan dalam menikahkannya, misalnya dengan menikah akan terpenuhi nafkahnya, atau dengan menikah dia akan mendapatkan mahar (maskawin) dari calon suami atau memang wanita tersebut menginginkan untuk menikah, misalnya dia selalu menguntit laki-laki, atau justru kesembuhannya tergantung kepada nikahnya, maka boleh bagi ayah atau kakek menikahkannya. Lain halnya jika wanita tersebut tidak butuh untuk menikah dan tidak ada maslahat dalam menikahkannya, maka tidak boleh menikahkannya. Sedangkan bagi wali hakim tidak boleh menikahkannya kecuali jika ada tanda-tanda dia membutuhkannya, atau kesembuhannya tergantung pada pernikahan tersebut, dan itupun harus setelah baligh, dan tidak sah jika sebelumnya, kecuali jika wali nikahnya adalah ayah dan kakek saja. Dan selain mereka bertiga tidak boleh dan tidak sah menikahkannya. Jadi kapan wanita yang gila itu butuh kawin dan bergantung kesembuhannya pada pernikahannya maka wajib dinikahkan, dan yang menjadi wali nikah adalah ayahnya, jika sudah meninggal kakeknya, dan jika sudah meninggal pula maka yang menjadi walinya adalah wali hakim. Dan sunnah bagi wali hakim sebelum menikahkannya bermusyawarah dengan keluarganya untuk menyenangkan hati mereka, dan karena mereka lebih tahu akan kemaslahatannya
Hukum jika Calon Suami Gila
Seperti dijelaskan bahwa kegilaan tidak mencegah sahnya suatu pernikahan, maka jika si calon suami yang gila itu ada hasrat untuk menikah yang mana hal itu dapat diketahui dengan misalnya dia selalu mengikuti wanita yang ditemuinya, atau dengan mengejar dan memeluknya, atau kesembuhannya bergantung dengan pernikahan tersebut maka boleh bagi ayah atau kakeknya untuk menikahkannya dan jika mereka berdua sudah meninggal maka wali hakim yang menikahkannya. Bahkan jika kesembuhannya tergantung kepada pernikahan tersebut, maka wajib dinikahkan, dan tidak boleh menikahkannya selain mereka bertiga.
Dan kapan yang menikahkan adalah wali hakim maka sunnah baginya untuk bermusyawarah dengan keluarganya, dan harus dicatat bahwa yang menerima aqad qabulnya adalah mereka bertiga (ayah, kakek atau wali hakim), dan tidak boleh dinikah lebih dari satu istri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
APA PERTANYAAN MU ??
note :
- Silahkan bertanya dengan diawali kalimat "Tanya Penghulu"